Manfaat Pelatihan Upaya Meningkatkan Kapasitas Pemberdayaan

pemberdayaan masyarakat
Adakah Manfaat Pelatihan Sebagai Cara Meningkatkan Kapasitas Dalam Pemberdayaan Masyarakat ? Ya, pertanyaan ini sangat krusial mengingat potensi, kualitas dan kapasitas dalam sejumlah kegiatan pendampingan untuk program pemberdayaan masyarakat.

Sebagai program yang menggunakan metode pendampingan di lapangan terhadap segala aktivitas dan kegiatan masyarakat, baik yang berhubungan langsung dengan program, maupun sebagai efek samping program itu sendiri, pelatihan memiliki peranan penting, khususnya bagi pelaksana atau pelaku pendampingan dalam hal ini adalah fasilitator dan unsur-unsur organisasinya, maupun objek yang didampingi, dalam hal ini adalah masyarakat selaku penerima manfaat program.

Sebelum kepada bahasan mengenai seberapa besar manfaat pelatihan terhadap pemberdayaan masyarakat, paling tidak kita bisa memahami terlebih dahulu konsep dasar pemberdayaan itu sendiri. Menurut Robinson (1994, seorang pakar ilmu sosial) seperti dikutip dari artikel terdahulu (Pemberdayaan : Cara Membuat Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Bentuk Fasilitasi Sosial Dalam Filosofinya), pemberdayaan adalah sebuah proses pribadi dan sosial, suatu bentuk pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak. Bila mengacu pada konsep ini, pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai suatu proses pengembangan diri pribadi dalam lingkungan sosial, demikian pula dengan lingkungan sosial itu, sehingga individu dan kelompok-kelompok sosial serta ragam interaksi dan dinamika didalamnya yang membentuk sebuah masyarakat dengan karakternya, dapat memiliki peningkatan baik dari cara berpikir, cara bertindak, cara berkomunikasi dan berinteraksi, demikian pula potensi yang dimiliki. Dengan demikian terjadi perubahan selama proses itu terjadi.

Dalam konteks PNPM-Mandiri Perkotaan, tujuan umum dari segala bentuk kegiatan pemberdayaan di dalamnya adalah meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri (Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, Pedoman Pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan, 2009). Tentu saja dalam menuju ke arah tersebut harus melakukan dan mempertimbangkan banyak hal, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan di lapangan. Hal-hal tersebut antara lain kapasitas pelaku pemberdayaan, yaitu fasilitator dan lembaganya, kelompok organisasi masyarakat yang dibentuk melalui prosedur PNPM-Mandiri Perkotaan, dan juga memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat itu sendiri sebagai cerminan dari karakter sosial. 

Indonesia merupakan salah satu negara dengan karakter dan dinamika sosial yang khas. Salah satunya adalah karena sangat dipengaruhi oleh akar budaya dan latar belakang setiap anggota masyarakat di dalamnya. Dalam artikel ini akan diambil lokasi sampel yaitu Kota Bengkulu. PNPM-Mandiri Perkotaan di Bengkulu sudah dimulai sejak tahun 2006-2007 yang lalu. Sebelum, atau bahkan pada saat program PNPM ini berjalan, tidak sedikit program lain baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun lembaga non pemerintah ikut berpartisipasi dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial yang diinginkan. Di sini tidak akan dibahas lembaga apa saja, orientasi lembaga dan cara kerja lembaga tersebut, namun yang pasti program-program tersebut memiliki visi yang sama, yaitu bagaimana agar masyarakat Kota Bengkulu dapat mandiri, memiliki potensi dan kemandirian serta mampu sejahtera. Dan secara umum, program-program tersebut gagal dalam tujuannya, meskipun dalam perjalanannya sejumlah metode dan aspek-aspek pemberdayaan ada yang 'tertinggal' di masyarakat.

Fenomena yang terjadi selama berjalannya program hingga saat ini, khususnya dalam lingkup PNPM-Mandiri Perkotaan, mengarah kepada dua pertanyaan umum. Benarkah metode dan aspek-aspek pemberdayaan yang telah dilakukan belum juga dapat meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat kelurahan di Kota Bengkulu, khususnya dalam lembaga LKM/BKM ? Benarkah kecenderungan ini disebabkan oleh masih lemahnya kapasitas pendampingan dan rendahnya kualitas pendamping/fasilitator ? 

Dalam sejumlah kegiatan diskusi yang dilakukan selama kegiatan Pelatihan Penguatan Fasilitator PNPM-Mandiri Perkotaan beberapa waktu yang lalu, terdapat beberapa hal penting yang menjadi bahasan krusial yang tidak hanya melibatkan kapasitas fasilitator, namun juga melibatkan kapasitas organisasi LKM/BKM  dan kelompok masyarakat yang ada, dan juga peranan pihak lain, dalam hal ini adalah pihak-pihak peduli, khususnya pemerintah. Kenapa pemerintah ? Kenapa tidak difokuskan pada pihak swasta atau kelompok-kelompok tertentu lainnya ? Karena Pemerintah khususnya Pemerintah Daerah dengan struktur kepemerintahan didalamnya berhubungan langsung dengan segala bentuk kegiatan pemberdayaan dan pelaku pemberdayaan, bukan hanya dalam konteks PNPM-Mandiri Perkotaan, tapi seluruh organisasi dan programnya. Pemerintah juga berperan langsung baik secara kebijakan dan keputusan maupun implementasi di lapangan sesuai dengan komitmen yang disepakati. 

Salah satu butir permasalahan yang muncul ke permukaan adalah berkurangnya rasa kepedulian, kerelawanan dan partisipasi dari masyarakat. Penyebabnya adalah adanya ego dari sejumlah kalangan masyarakat mengenai keberpihakan dan kemanfaatan program, munculnya perasaan-perasaan sentimentil sebagai bagian dari ego tersebut, adanya dinamika mengenai paradigma dan orientasi masyarakat mengenai stimulan program dalam hal ini adalah dana bantuan program (BLM,BLT dan sejenisnya), dan juga sikap dan sifat dari pemimpin daerah, baik scoup luas maupun skala lebih sempit yang pada dasarnya merupakan simbol panutan masyarakat itu sendiri. Solusi yang ditawarkan ? Pelatihan. Ya, pelatihan untuk pendamping masyarakat, pelatihan untuk masyarakat, pelatihan untuk birokrat sebagai pengusung kebijakan yang dibuat. 

Kembali pada tema di atas, seberapa besar sih manfaat pelatihan bagi keberlangsungan program, bukan hanya dalam lingkup PNPM, namun seluruh program ? Tidak bisa dibilang sedikit, namun sebenarnya pelaksanaan program bukan sebatas pelatihan penguatan, pelatihan kapasitas dan sejenisnya. Cara meningkatkan animo masyarakat dan pemerintah terhadap berjalannya program juga tidak melulu dengan meletakkan fasilitator dalam posisi sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap stagnannya animo tadi. Pelatihan merupakan bentuk pengisian dan pemulihan peranan, tanggung jawab dan aspek nilai yang terkandung dalam program kepada pelaku pemberdayaan. Ketika akhirnya apa yang didapat dalam pelatihan mengalami kebuntuan dalam pelaksanaannya, maka yang diperlukan adalah kreatifitas, kesabaran, dan dorongan serta motivasi lain. Waktu adalah kata kunci paling berpengaruh dalam segala aktivitas yang ada. Pengelolaan dan manajemen waktu tidak bisa dinafikan begitu saja.

Tidak bisa disangkal, kebuntuan pendampingan ini (saya istilahkan demikian) seperti lingkaran setan. Begitu stimulan tidak bisa dimiliki semua pihak yang berkepentingan (pemanfaat dan pengelola), akan muncul opini yang diikuti perilaku pragmatis dan acuh tak acuh, lalu terjadi pemisahan dan pengelompokan. Ini menyebabkan melemahnya kekuatan secara kelembagaan dan secara perlahan paradigma turut berubah, di mana pada saat bersamaan terjadi visualisasi yang belum mengena hati masyarakat oleh lembaga pemerintah. Melemahnya organisasi akan menyebabkan berkurangnya spirit kerelawanan, dan perlahan-lahan menjadi redup. Ini tentu akan berpengaruh pada spirit yang dimiliki fasilitator pendamping. Kelanjutannya ? Progres ikut menjadi stagnan.

Terlepas dari dualisme aspek program, yaitu aspek pemberdayaan dan aspek proyek melalui stimulan yang ada, adalah sangat baik bila keduanya bisa berjalan berdampingan. Namun bila harus mengerjakan salah satu pilihan secara terfokus, akan membutuhkan waktu pula dalam melaksanakan aspek yang satunya. Seperti pepatah sekali menembak dua tiga pulau terlewati, untuk konsep pemberdayaan masyarakat tentunya dibutuhkan waktu yang tidak sedikit agar bagaimana cara membuat pemahaman konsep pemberdayaan (dalam PNPM-Mandiri Perkotaan) benar-benar lekat dan menjadi jiwa masyarakat, dan bagaimana cara meningkatkan serta mengasah nilai-nilai kemanusiaan didalamnya adalah menjadi tugas bersama, tugas dan tanggung jawab semua pihak. Kata kunci perilaku (behaviour) adalah kunci dari semua perubahan yang diinginkan, dan ini kembali kepada diri kita masing-masing. 


(opini penulis sebagai review dari rangkaian kegiatan Pelatihan Penguatan Fasilitator PNPM-Mandiri Perkotaan OC-2 Propinsi Bengkulu, 11-18 Juni 2012)

Next Post Previous Post
1 Comments
  • Joyo Pelatihan SDM
    Joyo Pelatihan SDM 3 Februari 2017 pukul 10.08

    Artikel yang sangat bagus,! saya jadi sadar tentang pentingnya mengikuti pelatihan.
    terima kasih :)

Add Comment
comment url